Bangsa
Indonesia dikenal dunia mewarisi budaya luhur nenek moyang sehingga
memiliki predikat sebagai bangsa beradab. Namun, dalam kondisi carut
marut seperti sekarang seakan tak tersisa lagi keluhuran budi pekerti
itu. Politik pun berjalan tanpa etika dan terjadi berbagai kecurangan,
penipuan, korupsi, kolusi, dan nepotisme. Situasi masyarakat kita
semakin individualistis, kapitalis, dan konsumtif. Jurang antara si kaya
dan si miskin semakin melebar. Rakyat menderita, sedangkan elite
berfoya-foya. Inilah gambaran kehancuran budaya luhur bangsa yang telah
dihinggapi penyakit politik.
Reformasi sesungguhnya dapat menyembuhkan penyakit politik. Akan
tetapi jika ingin berhasil, reformasi harus menyentuh posisi kunci di
pusat-pusat kekuasaan dan birokrasi. Para elite tak berdaya menghadapi
mafia korupsi, mafia hukum, mafia politik, dan berbagai penyimpangan
komitmen bernegara yang ditengarai sebagai penyakit politik. Penyakit
politik telah berkembang pesat dan beranak-pinak.
Paling tidak di sana ada penyakit politik dagang sapi yang dikenal
dengan istilah politik transaksi (transactional politics). Para
pengusaha berdiri di belakang sebagai penyandang dana dengan tujuan yang
terselubung. Di sisi lain, ada juga penyalahgunaan kekuasaan, terlebih
jika pengawasannya lembek.
Patologi politik memiliki kohesivitas dengan persoalan ekonomi,
birokrasi, sosial-kultural, dan sistem politik. Orang bijak mengatakan
jika semua manusia berhati malaikat, hukum tak diperlukan lagi. Oleh
sebab itu, politik yang tergerus bisikan setan tidak lepas dari “adanya
kesempatan”, yaitu sistem birokrasi dan sistem hukum yang tidak jelas. Kesalahan mendasar para politisi adalah menempatkan politik sebagai
tujuan dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan itu. Lebih
dari itu, mengartikulasikan politik sebagai kekuasaan dan kekuasaan
berarti uang, maka politik menjadi jalan hidup yang harus dilewati. Oleh
karena dapat diidentifikasi, paling tidak, ada tiga pola patologi
politik yang membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara dan menjadi
tema besar sasaran reformasi.
Pertama, politik transaksional. Romo Benny Susetyo menengarai tumbuh
dan berkembangnya politik transaksional karena tersumbatnya komunikasi
politik. Kepentingan rakyat tidak diakomodasi dan para pemimpin berasyik
masyuk dengan jabatan mereka masing-masing sehingga menimbulkan pola
pikir individualistis. Sementara itu, T.B. Hasanuddin mengatakan
orientasi kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi serbapolitis. Dalam
pemilu (pileg, pilpres, dan pilkada hingga pilkades) cenderung terjadi
politik uang. Gejala politik transaksional muncul dan berkembang di
setiap daerah. Ada yang berdalih biaya tersebut bukan politik uang,
melainkan ongkos politik.
Kedua, penyalahgunaan kekuasaan yang sering muncul dari para pemimpin
arogan, sombong, dan mentang-mentang. Hal ini berawal dari perasaan
super yang mengiringi kekuasaan yang dijabatnya. Padahal, sebelum
menjabat ia hanya manusia biasa, rakyat biasa, bukan apa-apa, dan bukan
siapa-siapa. Ia berwibawa karena jabatannya dan jabatan itu adalah
amanah yang harus dilaksanakan sesuai dengan fungsinya sebagai pejabat.
Telantarkan Rakyat
Akhir-akhir ini muncul di publik perbincangan hangat tentang negara
autopilot. Di mana-mana rakyat dilanda musibah, konflik, kelaparan,
bencana alam, dan lain sebagainya, tetapi negara selalu absen dan tidak
memberikan solusi. Misalnya, kasus Mesuji dan kasus Bima.
Rakyat dari pelosok desa datang mendirikan kemah-kemah di depan
gedung DPR, di depan Kementerian Dalam Negeri, dan berdemo di depan
Istana Presiden. Mereka tidak mendapatkan perlindungan dan solusi.
Negara benar-benar absen dan membiarkan rakyatnya telantar begitu saja.
Penyalahgunaan kekuasaan adalah sikap mentang-mentang; Anda mau
menangis air mata darah, mau jahit mulut, silakan. Jawaban yang
benar-benar menyakiti hati rakyat. Hancur luluh budaya luhur bangsa yang
santun dan saling hormat-menghormati karena penyalahgunaan kekuasaan
oleh para pemimpin bangsa.
Ketiga, yang tak kalah hebat daya rusaknya adalah penyakit konflik
kepentingan. Bahkan di dalam tubuh satu partai pun terjadi tarik-ulur
dalam mengambil keputusan. Kepentingan individu dan kelompok lebih
mewarnai keputusan-keputusan politik daripada kepentingan publik. Sudah
menjadi rahasia umum bahwa antara mulut dan hati bertolak belakang,
tidak ada keterpaduan antara ucapan dan tindakan, ini menjadi problema
para pemimpin sekarang.
0 komentar:
Posting Komentar